Menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat (Jabar) 2024, partai politik (parpol) mulai membuka komunikasi dengan parpol lainnya untuk membangun kekuatan. Dalam seminggu kebelakang, komunikasi politik sangat intens dilakukan para petinggi parpol.
Koalisi parpol menjadi mutlak pada Pilgub Jabar 2024 karena tidak ada parpol yang bisa mengusung pasangan calonnya sendiri pada Pilgub Jabar 2024. Hal ini lantaran seluruh partai politik yang memiliki kursi di DPRD Jawa Barat berdasar hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 tidak memenuhi ambang batas 20 persen.
Dengan jumlah 120 kursi DPRD Jabar, partai politik harus memiliki 24 kursi untuk mengusung calon mereka pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat mendatang. Sementara perolehan kursi parpol di Pileg Jabar 2024 adalah: Gerindra 20 suara, PKS dan Golkar masing-masing 19 suara, PDI Perjuangan 17 suara, PKB 15 suara, Demokrat dan NasDem masing-masing 8 suara, PAN 7 suara, PPP 6 suara, dan PSI 1 suara.
Pilgub bukan hanya tentang siapa yang akan memimpin Jawa Barat, tetapi juga bagaimana koalisi dan strategi parpol dalam menentukan pasangan calonh yang akan diusung. Saat ini peta politik di Jawa Barat masih sangat dinamis. Koalisi sangat tergantung komunikasi yang dilakukan parpol yang mempunyai kursi di DPRD.
Dalam Pilgub Jabar, tiga parpol yang menduduki posisi tiga besar pada Pilgub 2024 lalu, akan menjadi poros utama terbentuknya koalisi parpol, yaitu Gerindra, PKS, dan Golkar. Sementara PDIP, PKB, PAN, NasDem dan PPP akan menjadi poros penentu bagi terbentuknya koalisi dari partai poros utama.
Apakah koalisi parpol pada Pilgub Jabar akan mengulang Pilpres 2024? Jawabannya bisa sama bisa tidak, karena dalam politik tidak ada koalisi yang permanen, tidak ada jaminan koalisi di pilpres akan dilanjutkan di pilkada. Banyak faktor yang mempengaruhi pertimbangan koalisi parpol.
Sampai saat ini parpol masih wait and see, saling melihat dan saling menunggu. Dinamika ini bisa berubah setiap saat, tergantung kepentingan masing-masing parpol.
Partai Golkar mengisyaratkan koalisi Pilpres jilid 2 sangat mungkin terjadi. Sekretaris DPD Golkar Jabar, MQ Iswara mengatakan bahwa arahan koalisi Golkar di Jabar sesuai arahan Ketua Umum Golkar dan kesepakatan para pimpinan partai di tingkat pusat.
“Golkar memprioritaskan koalisi Indonesia maju (KIM), terkecuali jika kondisi daerah itu tak memungkinkan, maka Golkar mengizinkannya,” katanya, Minggu (26/5/2024).
“Banyak partai yang datang ke kami untuk Pilgub Jabar. Tapi, kami masih menunggu dari DPP dan DPP pun menunggu pembicaraan dengan pimpinan partai di KIM, seperti Gerindra, Demokrat, dan PAN,” imbuhnya.
Namun Golkar pun tidak menutup kemungkinan berkoalisi dengan PDIP di Pilgub Jabar. Sejak awal Mei, tepatnya 5 Mei 2024 lalu, komunikasi dua partai sudah terjalin. Petinggi kedua partai sudah bertemu dan membicarakan soal peluang koalisi. Ketua DPD Partai Golkar Jabar, Ace Hasan Syadzily mengatakan, pertemuan dengan PDIP Jabar merupakan pembuka bagi upaya komunikasi bagi kedua partai.
“Partai Golkar dan PDIP memiliki platform kebangsaan, tentu cita-cita kebangsaan ini perlu kita wujudkan bersama,” ungkap Ace.
Sudah selesai
Sementara itu Ketua DPW PKS Jabar, Haru Suandharu mengatakan, pihaknyha tidak terpaku pada koalisi saat pilpres. Menurutnya, Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai NasDem, PKB, dan PKS pada Pilpres 2024 kemarin sudah selesai.
Pada Pilkada Serentak 2024, PKS membuka peluang koalisi dengan semua parpol. Bahkan jika harus berkoalisi dengan parpol yang berbeda ideologi, Haru menegaskan tidak menjadi kendala bagi PKS. Artinya, peluang koalisi dengan PDIP, Gerindra, dan Golkar sangat mungkin tercipta.
“Kalau ditanya bisa gak sama PDIP, Gerindra, Golkar? Bisa. Tinggal mereka mau gak? PKS gak ada masalah. Dengan PKB, Nasdem, PAN, sangat mungkin,” katanya.
Menurut Haru, koalisi tidak bisa dipaksanakan karena untuk membuat sebuah koalisi harus ada kesamaan visi misi serta chemistry antarpartai politik.
“Ya kan cocok-cocokan gak bisa dipaksakan, kalau dipaksakan nanti pernikahan yang dipaksakan dan mungkin jadi kurang bahagia. Saya kira masih dinamis, komunikasi berjalan dengan semua partai politik,” tutur Haru yang masih menjalin komunikasi dengan partai Koalisi Perubahan.
Pada Pilgub 2018, PKS berkoalisi dengan Gerindra dan PAN mengusung pasangan Sudrajat dan Ahmad Syaikhu. Koalisi lainnya adalah PPP, PKB, NasDem, dan Hanura mengusung pasangan Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum serta koalisi Demokrat dan Golkar yang mengusung Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi. Sementara PDI Perjuangan karena memenuhi ambang batas, tanpa koalisi mengusung pasangan Tubagus Hasanudin dan Anton Charliyan.
Pada kontestasi tersebut, koalisi PPP, PKB, NasDem, dan Hanura yang mengusung Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum berhasil memenangakan Pilgub 2018 dengan meraih 32,88%. Sementara pasangan Sudrajat dan Ahmad Syaikhu meraih 28,74%, pasangan Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi 25,77%, dan pasangan Tubagus Hasanudin dan Anton Charliyan 12,%.
Sementara itu Gerindra sebagai pemilik kursi terbanyak di DPRD Jabar belum memperlihatkan arah koalisinya. Gerindra hanya membutuhkan 4 kursi tambahan untuk bisa mengusung calon gubernur.
Ditentukan pusat
Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Firman Manan mengatakan bahwa koalisi partai masih jauh dari permanen. “Segala kemungkinan masih bisa terjadi jelang memasuki Pilkada Serentak tahun 2024. Begitu juga dengan wacana pembentukan koalisi partai yang dikabarkan sudah mulai di bentuk di sejumlah daerah,” katanya menjawab pertanyaan Koran gala, Jumat (24/5/2024).
“Karena petanya sudah tergambarkan pada perolehan kursi dari masing-masing partai, wajar jika ada partai yang membuka komunikasi bersama partai lain. Tapi saya pikir dinamikanya masih seperti itu. Pertama masih menunggu rekomendasi internal,” imbuhnya.
Menurut Firman, pembentukan koalisi di tingkat lokal biasanya akan dintentukan oleh pusat. Artinya, saat ini partai hanya bersifat merekomendasikan pembentukan koalisi kepada pusat.
“Partai apa berkoalisi dengan siapa tidak semata-mata ditentukan oleh elit di level lokal. Jadi nama-nama dan koalisi itu nanti diusulkan depada DPD/W terlebih dahulu kemudian DPD/W membawa ke pusat, nah proses itu masih berlangsung,” katanya.
Pembentukan koalisi yang dibangun oleh sejumlah partai, masih bersifat dinamis. “Realitanya kita melihat, pada akhirnya keputusan itu harus di konsultasikan di tingkat pusat dan sering kali bisa berbeda hasilnya, itu yang harus dicermati,” ujarnya. ***
Sumber : koran-gala.id
Leave a comment